Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari Mimbar Sumbar, berulang kali melakukan kesalahan Pegawai Harian Lepas (PHL) Inisial BH dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh kepala cabang Samsat Bukittinggi Zawil Muzaki.
BH yang bertugas sebagai sopir Mobil Samsat Keliling di Kantor Cabang Samsat Bukittinggi diduga melakukan penggelapan uang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan mutasi kendaraan wajib pajak kendaraan.
Zawil Muzaki mengungkapkan, BH telah Merusak citra institusi, karena itu BH di PHK, tertanggal 16 April 2025, dimana sebelumnya sudah diberi Surat Peringatan (SP).
“Surat Peringatan (SP) pertama pada tanggal 12 Juni 2024, SP Kedua 17 Februari 2025 dan SP Ketiga 16 April 2025 kemaren,” tambah Muzaki.
Kedepan ini mejadi pelajaran bagi kawan-kawan yang lainnya jangan sewenang-wenang melayani masyarakat.
Kalau mau membantu silakan karena Samsat pelayan masyarakat tapi bayar sesuai yang tertera.
Ditempat berbeda, Dr (c) . Riyan Permana Putra, SH, MH yang merupakan praktisi hukum dan Perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumatera Barat menyatakan diduga pegawai Samsat yang melakukan penggelapan dapat dijerat hukum pidana, khususnya pasal penggelapan dalam Pasal 372 KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan ini dianggap sebagai kejahatan yang mirip dengan pencurian karena melibatkan penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.
“Secara hukum menurut kami pegawai Samsat yang diduga menggelapkan uang yang seharusnya disetorkan untuk pembayaran pajak dianggap melakukan penggelapan karena menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat untuk mengelola keuangan. Pegawai Samsat yang terbukti melakukan penggelapan dapat diancam hukuman pidana penjara dan denda, tergantung pada besaran kerugian yang ditimbulkan,” katanya kepada media ini, pada Sabtu, (19/4/2025) di Bukittinggi.
Riyan Permana Putra menambahkan, jika terjadi kasus penggelapan di Samsat, Inspektorat akan melakukan pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti untuk mengetahui modus operandi, pihak yang terlibat, dan besarnya kerugian.
“Selain pasal penggelapan, tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan jabatan, yang dapat memiliki konsekuensi hukum pidana tersendiri, seperti pidana penjara dan denda. Penggelapan oleh pegawai Samsat dapat merugikan masyarakat karena dapat menyebabkan ketidakadilan dalam sistem pajak dan mengurangi pendapatan daerah,” tambahnya.
Riyan Permana Putra pun melanjutkan untuk masyarakat yang menjadi korban penggelapan pegawai Samsat agar tidak lagi dibebani dengan kewajiban untuk membayar denda dan pokok pajak. Sebab pada dasarnya, mereka sudah membayar kewajibannya itu sesuai bukti yang diserahkan petugas pajak kepada masyarakat.
Menurut Riyan Permana Putra, bila masyarakat masih dibebankan lagi untuk membayar denda dan pokok pajaknya, itu artinya menjadi dua kali masyarakat membayar pajaknya.
“Saya kira, pemerintah perlu berhati hati menyikapi masalah ini. Pemerintah harus memiliki payung hukum yang jelas untuk mengambil kebijakan. Jangan justru mengorbankan masyarakat yang awalnya sudah menjadi korban,” ujar Riyan Permana Putra.
Riyan Permana Putra juga menegaskan, bila masyarakat korban penggelapan pajak itu masih tetap diwajibkan membayar denda dan pokok pajaknya, itu artinya pemerintah benar benar mengorbankan masyarakat.
“Kalau masyarakat dikorbankan, itu artinya pemerintah tidak lagi menganut azas layanan publik dalam menyelenggarakan layanan. Seharusnya, dalam menyelenggarakan layanan publik, pemerintah harus memberi azas kepastian hukum kepada masyarakat,” tutup Riyan Permana Putra memungkasi.(ms/Jamil/Tim)
