Agam – Dilansir dari Tingkap, Dana Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD Kabupaten Agam diduga hingga kini masih tertahan di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Pemerintah Kabupaten Agam, menuai sorotan. Dana yang peruntukannya diarahkan untuk masyarakat di masing-masing daerah pemilihan (dapil) itu, seharusnya sudah berjalan sesuai rencana.
Praktisi hukum dan mantan Ketua Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kabupaten Agam, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH menilai, dugaan keterlambatan penyaluran dana tersebut berpotensi menimbulkan maladministrasi, mengingat objek penerima manfaatnya adalah masyarakat yang telah menunggu realisasi program.
“Dana Pokir itu merupakan bagian dari hasil reses yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, di mana usulan masyarakat telah diakomodasi melalui anggota DPRD, lalu diinput ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Jika penyalurannya tertahan tanpa alasan yang jelas, maka ada indikasi pelanggaran asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik,” ujar Riyan, Selasa (12/8/2025).
Dasar Hukum dan Potensi Pelanggaran
Riyan menjelaskan, secara normatif, mekanisme Pokir diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan hak kepada DPRD untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Selain itu, Pasal 3 dan Pasal 10 UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan pentingnya sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan program pemerintah.
“Jika dana sudah dianggarkan dalam APBD namun tidak direalisasikan tepat waktu, itu bisa bertentangan dengan Pasal 293 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 yang menyebutkan setiap pengeluaran daerah harus berdasarkan APBD dan dilaksanakan sesuai ketentuan. Penundaan tanpa dasar dapat digugat melalui mekanisme hukum administrasi negara,” jelasnya.
Rujukan Yurisprudensi
Riyan menambahkan, Mahkamah Agung melalui Putusan MA Nomor 49 P/HUM/2013 pernah menegaskan bahwa keterlambatan atau penahanan anggaran yang telah disahkan dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) apabila merugikan pihak yang berhak menerima.
“Kasus serupa pernah terjadi di beberapa daerah di mana kepala daerah dan perangkatnya diminta bertanggung jawab karena menghambat realisasi anggaran yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam APBD. Prinsipnya, jika sudah dianggarkan dan disahkan, pemerintah wajib melaksanakan, kecuali ada keadaan memaksa yang diatur undang-undang,” imbuhnya.
Alternatif Solusi Selain Ombudsman
Selain melapor ke Ombudsman, Riyan memaparkan ada beberapa jalur lain yang bisa ditempuh untuk mengawal penyaluran dana Pokir:
- Ke Komisi Informasi (KI) Provinsi Sumbar – Mengajukan permintaan informasi resmi terkait alasan penundaan, jadwal realisasi, dan status pencairan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008.
- Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) – Menggugat tindakan penundaan yang merugikan hak masyarakat sesuai UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009.
- Laporan ke Aparat Penegak Hukum (APH) – Jika ada indikasi penyalahgunaan dana atau tindak pidana korupsi berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
- Hak Interpelasi oleh DPRD – Memanggil Bupati dan BPKD untuk memberikan penjelasan resmi sesuai Pasal 115 UU Nomor 23 Tahun 2014.
- Pengaduan ke Inspektorat Daerah – Meminta audit internal terkait keterlambatan penyaluran sesuai PP Nomor 12 Tahun 2017.
Hak Publik untuk Mendapat Penjelasan
Riyan menegaskan, dalam konteks pelayanan publik, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan pemerintah memberikan penjelasan yang transparan mengenai keterlambatan pelaksanaan program. Masyarakat dapat menggunakan hak keberatan, pengaduan, atau langkah hukum untuk memastikan dana tersebut sampai kepada penerima manfaat.
“Transparansi adalah kunci. Dana ini menyangkut kepentingan rakyat di dapil masing-masing. Setiap keterlambatan tanpa penjelasan yang sah bisa memperburuk kepercayaan publik kepada pemerintah daerah,” tutur Riyan.
Sebelumnya, dilansir dari Tingkap, Salah seorang anggota DPRD Kabupaten Agam, Syafril Dt. Rajo Api mengaku dana Pokirnya untuk Tahun Anggaran 2025 mengalami 3 kali pemotongan.
“Awal diajukan Rp. 1,2 milyar, dipotong Rp. 500 juta sisa menjadi Rp. 700 juta, dan dipotong lagi 100 juta. Alhasil tersisa Rp. 600 juta. Masih belum cukup pemotonganpun berlanjut untuk pokir bersama 140 juta akhirnya tersisa 460 juta,” terang wakil rakyat dari Fraksi Partai Demokrat yanmg akrab disapa Nyiak Api ini ketika dihubungi melalui pesan singkat WhatsApp, Selasa (12/8/2025).
Untuk diketahui masing masing anggota DPRD diperuntukan dana pokirnya Rp.700 juta. Seluruh anggota berjumlah 45 orang itu mendapatkan alokasi anggaran dengan jumlah yang sama.
Sekretaris DPRD Kabupaten Agam, Villa Erdi ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, Selasa (12/8/2025), mengatakan bahwa pihak Setwan hanya menfasilitasi tahap usulan. “Kami memfasilitasi tahap usulan, selanjutnya di tahap penganggaran bagian Bappeda dan BadanKeuangan,” ujarnya.
Sementara Sekretaris Daerah Kabupaten Agam, Busti selaku perpanjangan tangan Bupati saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, Selasa (12/08/2025), hingga berita ini ditayangkan tak merespon.(Syahyetti Syamra/Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)
