Bukittinggi – Menanggapi permohonan maaf PT Kereta Api Indonesia (Persero) atas kecelakaan di perlintasan sebidang wilayah Divre II Sumatera Barat pada Kamis (21/8/2025).

“Kami menyampaikan permohonan maaf dan simpati yang tulus atas dampak yang ditimbulkan, kami sangat terpukul mendengar kabar ini. Setiap nyawa sangat berarti. Kami terus berupaya melakukan edukasi dan sosialisasi keselamatan di perlintasan, kami tetap sadar bahwa perubahan harus terus dilakukan bersama, pengguna jalan, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, bergerak bersama,” ujar Anne dalam siaran persnya, Jumat (22/8/2025).

Praktisi hukum dan tokoh muda Kota Sumatera Barat, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH menilai langkah tersebut merupakan bentuk tanggung jawab moral perusahaan, namun juga harus diikuti dengan langkah nyata dalam aspek hukum maupun teknis.

Menurutnya, permintaan maaf saja tidak cukup, karena menyangkut keselamatan masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang. “Pasal 124 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian jelas menegaskan bahwa penyelenggara perkeretaapian wajib menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran perjalanan kereta api. Jadi, KAI bukan hanya berkewajiban secara moral, tapi juga secara hukum,” tegas Riyan.

Ia menambahkan, kecelakaan di perlintasan sebidang bukanlah peristiwa baru, melainkan masalah klasik yang berulang. Karena itu, diperlukan solusi konkret berupa percepatan pembangunan palang pintu otomatis, penempatan petugas jaga, hingga edukasi hukum bagi masyarakat pengguna jalan. “Jika hanya mengandalkan imbauan, maka potensi kecelakaan akan terus terjadi. Negara melalui BUMN wajib hadir melindungi rakyatnya,” ujarnya.

Sebagai praktisi hukum, Riyan juga menekankan pentingnya akuntabilitas hukum apabila terbukti ada kelalaian. “Dalam KUHP Pasal 359, jelas diatur bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dapat dipidana. Maka dalam konteks ini, evaluasi menyeluruh perlu dilakukan agar tidak hanya berhenti pada sekadar permintaan maaf,” tambahnya.

Riyan juga menawarkan solusi hukum yang bisa ditempuh, antara lain:

  1. Gugatan Perdata – Keluarga korban berhak menuntut ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (perbuatan melawan hukum).
  2. Pertanggungjawaban Pidana – Jika terbukti ada kelalaian, maka pengurus atau pihak terkait dapat diproses pidana sesuai Pasal 359 KUHP.
  3. Class Action – Apabila kecelakaan di perlintasan sebidang sering berulang, masyarakat dapat mengajukan gugatan kelompok (class action) terhadap KAI.
  4. Penguatan Regulasi Daerah – Pemerintah daerah dapat membuat Peraturan Daerah yang mewajibkan penyediaan fasilitas keselamatan tambahan di titik rawan kecelakaan.
  5. Pengawasan oleh Ombudsman dan BPKP – Agar pelayanan publik oleh BUMN berjalan sesuai prinsip akuntabilitas.

Riyan menutup dengan ajakan agar pemerintah daerah, KAI, dan aparat hukum bekerja sama melakukan penataan ulang sistem perlintasan sebidang di Sumatera Barat. “Keselamatan adalah hak masyarakat, bukan sekadar jargon. Jangan sampai kecelakaan ini hanya jadi rutinitas berita tanpa ada solusi nyata,” pungkasnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *