Bukittinggi – Tokoh muda Kota Bukittinggi yang juga praktisi hukum asal Universitas Indonesia, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH., MH., menilai permintaan amnesti mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan kepada Presiden Prabowo perlu ditinjau dari aspek hukum dan etika.

Menurut Riyan, Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memang memberi kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dengan pertimbangan DPR. Namun secara praktik, amnesti lazim diberikan dalam kasus politik atau kepentingan negara yang lebih luas. “Untuk tindak pidana individual, jalur yang lebih tepat adalah remisi atau grasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan aturan pemasyarakatan terkait remisi,” jelasnya.

Dari sisi etika, Riyan menegaskan bahwa pejabat publik maupun mantan pejabat seharusnya menjadi teladan dalam menghormati proses hukum. “Mengajukan amnesti pada kasus pribadi bisa dipandang sebagai jalan pintas yang melemahkan kepercayaan publik. Lebih etis jika menjalani proses hukum sepenuhnya, lalu memanfaatkan hak remisi atau grasi sesuai ketentuan,” tegasnya.

Ia menutup dengan mengingatkan bahwa nilai integritas ala Bung Hatta harus tetap dijaga. “Presiden pun harus berhati-hati agar penggunaan hak prerogatif tidak dipolitisasi, demi marwah hukum dan rasa keadilan masyarakat,” pungkas Riyan.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *