Saat hendak mengambil waktu untuk mengistirahatkan tubuh yang terasa sedikit “panek-panek” dalam rutinitas harian yang begitu menyibukkan, seketika saya tertegun mendapati sebuah pesan masuk. Seorang teman mengirimkan link berita online, tersebut disana ‘harianhaluan.id’ dengan judul “Bukittinggi Kota Wisata Yang (kini) Kotor dan Semrawut”, pada bagian bawah tulisan ini tercantum nama penulisnya, saya sangat terkesan oleh siapa yang menulis opini ini, beliau Dirwan Ahmad Darwis yang merupakan pemikir sosio budaya yang kini tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pada tulisan nya, penulis menyampaikan opininya berdasarkan sudut pandang beliau sebagai seorang perantau yang sesekali pulang kampung, lalu melihat Bukittinggi tidak sebaik dari apa yang beliau lihat pada saat pulang ke Bukittinggi terakhir kali beberapa tahun sebelumnya. Bagi penulis tersebut, kondisi kota Bukittinggi hari ini tidak dijaga dengan baik karna terkesan kotor dengan sampah yang berserak, bagi penulis ini adalah sebuah kemunduran dalam cita-pembangunan berkemajuan. Bagi saya pendapat seperti ini sah² saja, toh hak berpendapat dilindungi oleh negara. Dan semua orang punya sudut pandangnya masing-masing yang secara alamiah bisa tidak sama satu sama lain. Dalam hemat saya, bisa jadi dalam sudut pandang penulis, kesan ini muncul pada saat beliau melewati pasar atau area² dibukittinggi yang kebetulan sedang semraut karena aktivitas pasar atau aktivitas sosial sedang berlangsung, lalu mengambil kesimpulan bahwa bukittinggi ini semraut karna sampah berserakan disekitar pasar atau area lainnya. Ya…kondisi ini sangat wajar terjadi, coba penulis datang pada saat malam hari, mungkin beliau akan menjumpai bagaimana para pejuang kebersihan sedang berjibaku untuk mempercantik kota ini agar enak di pandang di pagi harinya. Mereka bekerja tanpa mengharapkan pujian dari khalayak, memungut dan mengutip setiap jenis sampah apapun tanpa merasa jijik dan takut kotor. Bagi saya, terlalu dini mengatakan bahwa “Bukittinggi semraut dan kotor” jika tidak melihat lebih jauh bagaimana usaha yang dilakukan oleh para pahlawan kebersihan ini. Walapun mereka tidak mau dipuji, setidaknya ada penghargaan yang patut kita berikan pada mereka yang tidak terlihat di khalayak ini, namun tetap bekerja dengan senang hati. Dengan mengatakan kota ini semraut dan kotor, sama saja kita mengatakan mereka (petugas kebersihan) tidak bekerja sama sekali. Bukankah ini terlalu sentimentil. Banyak yang menilai kota ini ‘jorok’ hanya karena ada segelintir area yang belum maksimal perawatannya. Sering kita lupa bahwa kota ini melayani ribuan pengunjung setiap harinya. Tentunya, tak mudah bagi pemerintah kota untuk langsung merapikan semuanya dalam semalam, tapi kerja nyata terus dilakukan. Ada yang bilang, “Bukittinggi sekarang semrawut.” Saya kira ini lebih soal perspektif yang tidak memahami konteks lokal. Para pedagang kecil di sekitar Jam Gadang, misalnya, memang mencari nafkah dengan cara yang sederhana. Bukankah ini justru memperkaya budaya dan kehidupan kota? Mereka adalah bagian dari Bukittinggi. Kota ini adalah kota wisata, bukan museum yang steril, melainkan hidup dengan riuhnya interaksi sosial antara pedagang dan wisatawan.
Tapi apapun itu, sekali lagi saya sampaikan saya sangat menghargai opini dan pendapat seseorang. Apalagi penulis dalam tulisannya menyatakan dengan tegas bahwa “ia tidak ada punya kecondongan politis dengan paslon manapun di Pilkada Bukittinggi…”sungguh sangat bijaksana.
Namun yang sangat disayangkan, tulisan ini keluar saat Bukittinggi dalam situasi dan kondisi panas, bukan hanya soal suhu atau iklim global yang meningkat akibat global warming, suhu dan iklim politik dalam pilkada 2024 kali ini juga mulai memanas. Sudah barang tentu tulisan itu akan ditarik menjadi isu politik yang akan dipelintir sedemikian rupa. Tuduhan bahwa kota ini menjadi “jorok dan kumuh” justru terkesan sebagai upaya memojokkan pemimpin yang sebelumnya menjabat, terutama di masa kampanye. Dan disebarkan oleh tim sukses kandidat tertentu demi kepentingan politik. Disinilah letak kekecewaan saya bahwa; ‘kebijaksanaan’ ini menjadi semu karna publik sudah mengambil kesan negatif duluan sebelum pesan positif ini sampai di pembaca.
Sebagai bagian terkecil dari masyarakat Kota Bukittinggi, yang hidup dan bernafas ditanah yang indah ini, saya punya hak dan tanggung jawab untuk meluruskan hal ini. tulisan ini saya buat sebagai perimbangan darì tulisan yang disampaikan oleh Bapak ‘Dirwan Ahmad Darwis’: “Bukittinggi Kota Wisata yang (Kini) Kotor dan Semrawut” Dalam hemat saya, Tulisan opininya berpotensi akan merusak kepercayaan wisatawan dan mengganggu mata pencaharian banyak orang di kota ini. Penulis kritik semestinya lebih bijak dan tidak asal menyimpulkan. Bukittinggi adalah rumah bagi banyak warga dan sumber penghidupan bagi pelaku wisata. Kami menghargai kritik yang membangun, namun kami menolak kritik yang sekadar menciptakan citra negatif tanpa pemahaman mendalam atas usaha dan perjuangan yang telah ditempuh kota ini, terkhusus pemimpin kota sebelumnya untuk tetap berkembang sebagai destinasi wisata yang nyaman dan berkesan.Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah benar Bukittinggi Kota Wisata yang (Kini) Kotor dan Semrawut?
Pada beberapa waktu saya berjalan sendiri menyusuri kota ini, saya berjalan di bawah bayang-bayang Jam Gadang, melihat pedagang-pedagang kecil yang, meskipun hadir di sana-sini, sebenarnya telah menciptakan hidup dan warna tersendiri. Bukittinggi bukan hanya tentang spot wisata, tetapi juga tentang kehidupan, usaha, dan kreativitas masyarakat yang menghidupinya.
Jika kita bicara soal estetika dan kebersihan, apa yang diharapkan dari sebuah kota hidup dan dinamis seperti Bukittinggi? Tentu, tak bisa disamakan dengan “kota poscard” yang statis. Bukittinggi adalah kota yang dihuni oleh orang-orang yang bekerja dan berusaha, yang tentunya membutuhkan ruang. Saya melihat taman-taman dan trotoar yang direnovasi Wali Kota sebelumnya masih berdiri tegap. Mungkin sedikit debu di sana-sini, tetapi begitulah kota yang hidup—tidak semua bisa dipoles sempurna, bukan? Lagi pula, tim kebersihan kota secara rutin membersihkan area-area umum, meski tak bisa 100% setiap saat.
Jangan salah sangka, saya bukan menutup mata terhadap kekurangan Bukittinggi. Tapi, saya juga tidak buta terhadap fakta bahwa perubahan itu membutuhkan waktu dan adaptasi. Di balik kritik terhadap para pedagang asongan atau parkir yang katanya tidak tertib, saya justru melihat upaya pemerintah untuk menertibkan dan menyeimbangkan kepentingan ekonomi warga dengan estetika kota. Misalnya, trotoar-trotoar yang didesain untuk pejalan kaki yang kini disempurnakan dan dijaga agar tetap fungsional.
Dalam perjalanan saya menyusuri kota ini, ada banyak wisatawan asing dan lokal yang menikmati keindahan dan keramahan kota ini. Saya bahkan bertemu beberapa dari mereka di Sejuta Jenjang dan Great Wall, yang terlihat cukup bersih meski tentu ada tantangan dalam memelihara tempat-tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi. Justru mereka yang sering berkunjung ke sini melihat perubahan positif Bukittinggi, bukan sekadar nostalgia di masa lalu.
Di saat orang-orang terkesan memandang Bukittinggi dengan kritis, saya memilih untuk mengakui bahwa kota ini sedang berjalan maju. Program kebersihan dan revitalisasi fasilitas umum terus dilakukan. Sentimen politik antarpemimpin tidak serta-merta merugikan masyarakat. Bukittinggi, dengan segala upayanya, tetap berdiri sebagai destinasi yang layak dikunjungi dan dihargai.
Lalu saya melangkah ke Pasar Aur Kuning, pusat aktivitas ekonomi rakyat. Tempat para pedagang dari banyak daerah bertemu, karna memang Pasar Aur Kuning memang didesain sebagai pasar Grosir seperti Tanah Abang di jakarta. Di sana, juga ada para pedagang kaki lima yang tampak menawarkan dagangannya dengan ramah. Suasana mungkin terasa ramai, tapi justru itulah ciri khas pasar tradisional kita. Bukittinggi tidak sedang berupaya menjadi kota wisata yang steril dari kehidupan warganya. Sebaliknya, kota ini adalah tempat di mana wisatawan dan penduduk lokal dapat berbaur, merasakan riuh rendah kehidupan yang nyata.
Bukan berarti saya menutup mata pada kritik soal kebersihan atau ketertiban. Namun, sebelum menyimpulkan bahwa Bukittinggi sudah “berantakan,” mari lihat realitasnya: di sepanjang Jalan Sudirman, taman-taman kota dipelihara dengan baik, anak-anak bermain di sekitar, dan masyarakat beraktivitas dengan santai. Pemerintah juga sudah berusaha menata kembali beberapa lokasi pusat keramaian, termasuk melakukan penertiban pedagang yang dinilai tidak sesuai aturan. Kebijakan ini bukan hanya bertujuan mempercantik kota, tapi juga untuk memastikan wisatawan dan warga bisa menikmati Bukittinggi dengan nyaman.
Ada yang bilang Bukittinggi mulai kehilangan pesonanya, tetapi kenyataannya, kota ini justru semakin ramai oleh wisatawan, termasuk dari mancanegara. Cobalah mampir di kawasan Panorama atau Taman Ngarai Sianok; Anda akan melihat rombongan wisatawan yang sibuk mengabadikan pemandangan. Sungguh ironis jika dikatakan pariwisata Bukittinggi surut, padahal data kunjungan justru menunjukkan antusiasme yang terus meningkat. Sederhananya, Bukittinggi tetap menjadi primadona pariwisata Sumatera Barat.
Dan soal transportasi—saya setuju bahwa perlu ada pembenahan di sana-sini. Namun, apakah kita sudah menyadari bahwa pemerintah telah mengupayakan solusi agar jalan-jalan di pusat kota tetap tertib dan tidak macet? Rencana untuk membatasi kendaraan pribadi dan menyediakan bus kota yang nyaman saya yakin sedang dipertimbangkan oleh oemerintah kota. Hanya saja, perubahan besar seperti ini tidak terjadi dalam semalam. Bukittinggi sedang belajar menjadi kota wisata yang modern tanpa menghilangkan nilai tradisinya.
Lalu saya berjalan ke kawasan wisata seperti Lobang jepang. Tempat ini menawarkan kesan sejarah yang spektakuler, dan meski ada yang mengeluhkan perawatan fasilitasnya, kenyataannya tidak seburuk yang dibayangkan. Warga dan pengunjung tetap menikmati wisata ini, dan pemerintah sudah mulai memperbaiki serta membersihkan kawasan tersebut secara berkala. Inilah Bukittinggi yang sesungguhnya, sebuah kota yang tetap menjaga pesonanya meski dihiasi tantangan-tantangan kecil.
Ketika saya terus menyusuri kota, saya menemukan diri saya berdiri di Taman Panorama, menghadap megahnya Ngarai Sianok yang tak pernah kehilangan pesonanya. Di tengah keindahan alam ini, saya menyadari bahwa Bukittinggi tidak perlu menjadi replika kota-kota di luar sana. Bukittinggi punya identitasnya sendiri, sebuah kota yang hidup dan berkembang dengan keunikan budaya dan tradisi yang menyertainya. Wisatawan yang datang ke sini mencari suasana berbeda, yang hangat, hidup, dan khas Bukittinggi.
Saya bertemu beberapa wisatawan yang baru pertama kali datang ke sini. Mereka terpukau, tidak hanya oleh keindahan alam, tetapi juga oleh keramahtamahan penduduknya. Mereka justru kagum dengan bagaimana Bukittinggi menyajikan wajah asli kota yang jauh dari kesan “museum hidup.” Mereka mengapresiasi upaya pemerintah dan masyarakat yang tetap menjaga nilai-nilai lokal, sambil perlahan-lahan berbenah menuju tata kelola yang lebih baik.
Bukittinggi memang bukan kota sempurna, tapi inilah kota kita. Kota yang punya potensi besar, yang dengan segala upaya terus bertransformasi agar tetap relevan dengan zaman tanpa menghilangkan ruhnya. Setiap langkah, mulai dari penataan pasar, taman, hingga rencana pembenahan sistem transportasi, adalah upaya yang perlu kita dukung. Perubahan mungkin belum sepenuhnya sesuai harapan, tapi perlu kita sadari bahwa kota ini sedang bertumbuh, dan proses itu butuh kesabaran serta kerja sama kita semua.
Ketika melihat Bukittinggi sebagai kota wisata, kita perlu memahami bahwa pariwisata bukan sekadar urusan estetika atau ketertiban semata. Lebih dari itu, pariwisata memiliki tujuan yang jauh lebih dalam, yaitu menjadi roda penggerak bagi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pariwisata hadir untuk membawa manfaat yang nyata: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperbaiki kesejahteraan rakyat, mengurangi kemiskinan, dan membuka lapangan pekerjaan.
Bukittinggi tidak hanya harus terlihat menarik bagi wisatawan, tapi juga harus mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan dan keberlanjutan. Salah satu fungsi penting pariwisata adalah melestarikan alam dan lingkungan, memastikan agar sumber daya alam yang ada dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Di kota ini, kita memiliki Ngarai Sianok, Jam Gadang, dan Panorama sebagai warisan alam dan budaya yang perlu dijaga dengan baik. Pemerintah, masyarakat, dan para pelaku wisata di Bukittinggi telah berusaha keras menjaga keseimbangan ini, meskipun tantangannya tidak sedikit.
Jadi, alih-alih terus mengeluh dari kejauhan, mari kita bersama-sama memberikan kontribusi positif. Berikan kritik yang konstruktif, dukung program yang bermanfaat, dan hargai setiap langkah kecil menuju perbaikan. Bukittinggi bukanlah sekadar kampung halaman yang kita kunjungi saat liburan, tapi adalah bagian dari identitas kita sebagai orang Minangkabau, sebagai orang Indonesia.
Bukittinggi tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi kota yang dicintai. Ia hanya perlu menjadi kota yang dirawat dengan ketulusan, dihargai dengan rasa bangga, dan dijaga dengan penuh tanggung jawab. Mari kita jadikan Bukittinggi bukan hanya tempat bernostalgia, tetapi juga tempat di mana mimpi-mimpi baru tumbuh, untuk generasi yang akan datang.
Saya memahami harapan besar dari para perantau yang ingin Bukittinggi tampil sempurna, bak kota impian. Tapi apakah kita hanya ingin menjadikan Bukittinggi sebagai “pemandangan indah” yang steril, atau sebagai kota hidup yang berkembang alami dengan segala keunikannya? Bagi saya, Bukittinggi adalah kota yang terus berkembang, bukan kota yang berjalan mundur. Semua perubahan membutuhkan waktu, dan kita sebaiknya bersama-sama mengawasi, memberi masukan, dan mendukung program positif yang ada.
Mari kita anggap kritik ini sebagai pengingat untuk kita semua—bukan untuk terus-menerus menyalahkan tanpa solusi. Sebagai warga atau perantau, bukankah kita punya tanggung jawab untuk turut serta menjaga, mendukung, dan memberi masukan yang membangun? Bukittinggi bukan milik satu generasi saja; ia adalah milik kita semua, yang akan terus menjadi kota penuh kenangan dan harapan.
Pada akhirnya, Bukittinggi adalah cermin kita. Jika kita menginginkan kota ini terus bersinar, maka biarkan cinta dan kebanggaan kita menjadi cahaya yang menerangi setiap sudutnya.
Penulis:
Firman Wahyudi – Ketua Umum HMI Bukittinggi