Bukittinggi, 12 Agustus 2025 — Dilansir dari Scientia, Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2029 mendatang, tidak akan lagi digelar serentak dengan pemilihan anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota secara nasional.

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 135/PUUXXII/2024 itu, pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/ kota memiliki jeda waktu sekitar 2,5 tahun,” kata Komisioner Bawaslu Kota Bukittinggi, Eri Vatria di Bukittinggi, Senin (11/8/2025).

Ketua Bawaslu Kota Bukittinggi, Ruzi Haryadi saat pembukaan acara, mengatakan, bahwa, pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal dalam rentang waktu 2 sampai dengan 2,5 tahun sejak dilantiknya Presiden dan anggota DPR/DPD.

“Dengan diberlakukan putusan MK ini, di satu sisi beban Penyelenggara Pemilu akan terlihat berkurang karena ada jeda waktu mempersiapkan teknis dan pengawasan secara lebih matang. Tetapi di sisi lain bisa juga dipandang bertambah khususnya pada Pemilu Lokal, dimana persoalan Pilkada yang selama ini punya beban tersendiri disatukan dengan pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang juga punya persoalan besar seperti money politik dan negatif campaign,” tuturnya.

Ditempat berbeda Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH yang sebelumnya menjadi Ketua Tim Hukum/Advokasi Erman Safar – Heldo Aura serta Ketua Tim Hukum/Advokasi partai politik pendukung Erman Safar – Heldo Aura yang merupakan koalisi terbesar di Kota Bukittinggi dengan gabungan Gerindra, Nasdem, Golkar, PKB, PSI, Perindo, PBB, Garuda, Hanura, Gelora, Masyumi, dan Partai Buruh menyampaikan tanggapan hukum terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan bahwa mulai 2029 penyelenggaraan pemilu nasional (Pileg/ Pilpres/DPD) dan pemilu daerah (Pilkada, DPRD provinsi/kota) diselenggarakan secara terpisah. Pernyataan ini juga memuat rekomendasi penguatan kelembagaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat kota/kabupaten, khususnya menjelang pelaksanaan pemilu terpisah di Bukittinggi.

“Putusan MK membuka fase baru tata kelola pemilu di Indonesia. Secara konstitusional putusan tersebut bersifat final dan mengikat, namun pelaksanaannya membutuhkan penyelarasan regulasi dan penguatan institusi pengawas agar prinsip jaminan pemilu yang jujur dan adil tetap terjaga,” ujar Riyan Permana Putra, pada Selasa, 12 Agustus 2025, di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Riyan Permana Putra juga mengungkapkan berdasarkan hasil kajian akademik dan evaluasi pelaksanaan pemilu, ia menyebutkan (membongkar, red) ada beberapa kendala yang kerap menghambat efektivitas pengawasan Bawaslu di banyak daerah: keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran; infrastruktur teknologi pengawasan yang belum merata; beban kerja tinggi saat tahapan panjang; serta tantangan pencegahan politik uang dan penegakan sanksi administratif/kriminal. Kondisi-kondisi ini relevan ketika menghadapi transisi ke model pemilu terpisah yang memerlukan mekanisme pengawasan yang berkelanjutan dan responsif.

Data lokal dan konteks Bukittinggi

Riyan Permana Putra juga menjelaskan bahwa KPU Kota Bukittinggi dan instansi terkait telah mencatat dinamika pemilih dan tahapan pemilihan lokal baru-baru ini; pertumbuhan pemilih dan kebutuhan penguatan administrasi pemilu menjadi perhatian utama di tingkat kota. Menyikapi pemilu terpisah, Bawaslu Bukittinggi telah memulai langkah-langkah penguatan kelembagaan. Namun, pengalaman pemeriksaan kasus politik uang dan pengawasan pelanggaran pada pilkada/pileg sebelumnya menunjukkan bahwa penguatan kapasitas Bawaslu di tingkat lokal tetap mendesak.

Riyan Permana Putra merekomendasikan langkah nyata berikut agar pengawasan pemilu oleh Bawaslu tetap kuat saat pemilu terpisah:

  1. Penguatan SDM & Pelatihan Berkelanjutan — rekrutmen dan pelatihan ad hoc pengawas lokal (staf tetap & ad hoc) agar mampu menangani tahapan lebih panjang dan kompleks.
  2. Penambahan Anggaran Terprogram untuk Bawaslu Daerah — alokasi anggaran yang terjamin untuk operasi pengawasan, investigasi, dan penanganan sengketa administratif.
  3. Penerapan Teknologi Pengawasan Terintegrasi — platform pelaporan pelanggaran daring, analitik data cepat untuk deteksi pola money politics, dan integrasi laporan masyarakat antar-lembaga.
  4. Koordinasi Kuat Bawaslu — KPU — Penegak Hukum — prosedur cepat untuk rujukan dugaan pidana pemilu ke aparat penegak hukum dan sinkronisasi sanksi administratif dengan proses penyidikan.
  5. Revisi Teknis Peraturan Pelaksana (jika diperlukan) — menyesuaikan peraturan pelaksana dan pedoman Bawaslu untuk mengakomodasi model pemilu terpisah (meminimalkan disharmoni regulasi). Hal ini sejalan saran beberapa pakar dan DPR yang mendorong evaluasi desain keserentakan.

“Putusan MK memberi ruang untuk konsolidasi penyelenggaraan pemilu, tetapi memerlukan penyesuaian kelembagaan,” ungkap Riyan.

Pernyataan ini menggarisbawahi perlunya sinkronisasi hukum dan instrumen pengawasan.

Sementara itu beberapa kalangan legislatif dan partai menyoroti perlunya revisi undang-undang untuk mengakomodasi putusan MK, hal tersebut menunjukkan urgensi dialog hukum-politik yang serius.

Dr (c). Riyan Permana Putra menutup pernyataannya dengan ajakan penguatan Bawaslu bukan hanya kebutuhan teknis birokrasi — ini soal menjaga hak konstitusional rakyat atas pemilu yang bersih. Di Bukittinggi kita harus menjadikan pemilu terpisah sebagai momentum memperbaiki tata kelola pengawasan Bawaslu dengan cara: perkuat SDM, anggaran, teknologi, dan sinergi antar-lembaga.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *