Bukittinggi – Riyan Permana Putra pengacara ASN Bukittinggi menyatakan kepada media pada Senin, (28/4/2025) di sela-sela sidang di Pengadilan Negeri Bukittinggi bahwa terkait kasus RP yang ditangani Polresta Bukittinggi, tim hukum telah menerima informasi bahwa perkara RP dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Riyan Permana Putra menyatakan ia dan klien menolak saat berkas perkaranya dilimpahkan penyidik Polresta Bukittinggi ke jaksa penuntut umum (JPU). Hal itu disampaikan pengacara RP, ASN Bukittinggi, di Pengadilan Negeri Bukittinggi, di Bukittinggi, Senin (28/4) petang.

“Satu hal yang perlu kami sampaikan tadi, kami dan RP menolak perkara RP dilimpahkan ke Penuntut Umum,” ujar Riyan Permana Putra.

Riyan Permana Putra menyebutkan alasannya, terdapat hak-hak RP yang tidak dipenuhi penyidik. Satu di antaranya kondisi kesehatan RP yang diduga ODGJ dan ada beberapa saksi meringankan atau a de charge yang diajukan tim hukum tidak diperiksa penyidik dalam tahap penyidikan.

Sebelumnya diberitakan, sidang gugatan praperadilan RP digelar hari ini. RP melalui pengacaranya menyinggung kembali pemberkasan perkara kliennya yang dianggap dikebut oleh Polresta Bukittinggi.

“Saya kira pelimpahan berkas perkara dengan cara seperti ini ini, harusnya menjadi perhatian kita semua,” kata pengacara RP, Riyan Permana Putra.

Riyan Permana Putra menilai Polresta Bukittinggi diduga sengaja mempercepat pemberkasan berkas untuk menghindari proses praperadilan yang telah diajukan RP. Dia menyebut cara Polresta Bukittinggi diduga menyalahi hak tersangka yang turut diatur undang-undang dalam hak mengajukan pra peradilan.

“Tetapi ini adalah memang diduga cara yang dilakukan untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan terutama praperadilan,” sebutnya.

“Nah apa yang membuat saya risau bahwa ketika begitu banyak orang tidak peduli dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh Polresta Bukittinggi ini, maka diduga ini jadi preseden hukum yang diduga buruk yang akan dilakukan terhadap semua orang,” sambung Riyan Permana Putra.

Riyan Permana Putra diduga juga menuding Polresta Bukittinggi sengaja mengebut pelimpahan berkas RP ke Penuntut Umum. Diduga Polresta Bukittinggi takut kalah melawan praperadilan yang diajukan RP.

“Nah ini yang akan merusak seluruh sistem hukum kita, ini berbahaya untuk negara hukum Indonesia ini,” katanya.

“Mungkin Polresta Bukittinggi tidak memikirkan itu mereka hanya berpikir bahwa mereka takut kalah, sehingga dengan cara seperti ini mereka potong,” tambah Riyan Permana Putra.

Riyan Permana Putra menjelaskan menolak pelimpahan perkara ke jaksa karena sedang menjalani proses praperadilan adalah sebuah langkah yang umum, terutama jika ada dugaan penyidikan yang tidak sah. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa tindakan penyidik atau penuntut umum yang terkait dengan penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan, telah dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku, jelasnya.

Riyan Permana Putra menambahkan menolak pelimpahan perkara ke jaksa saat sedang menjalani proses praperadilan merupakan hak yang sah bagi seorang tersangka atau terdakwa yang ingin memastikan bahwa tindakan penyidik atau penuntut umum telah dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku, tambahnya.

Sebelumnya, Riyan Permana Putra pengacara ASN Bukittinggi menyatakan kepada media pada Jumat, (25/4/2025) di sela-sela sidang di Pengadilan Negeri Bukittinggi bahwa terkait kasus RP yang ditangani Polresta Bukittinggi, tim hukum telah menerima surat undangan sidang Pra Peradilan yang akan digelar pada Senin, 28 April 2025.

Sebelumnya, Riyan Permana Putra pengacara ASN Bukittinggi menyatakan kepada media pada Kamis, (24/4/2025) di sela-sela sidang di Pengadilan Negeri Bukittinggi bahwa terkait kasus RP yang ditangani Polresta Bukittinggi, tim hukum telah mengajukan Pra Peradilan, Gelar Perkara Khusus hingga laporan terkait adanya dugaan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan Kasat Reskrim Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu dalam menangani perkara Laporan Polisi Nomor: LP/B/146/III/2025, Tanggal 12 November 2024. a/n Pelapor A di Polresta Bukittinggi yang diduga melanggar Hak Tersangka dalam Kesehatan dan diduga mempidanakan ODGJ. Laporan ini ditujukan kepada BagWassidik Polda Sumatera Barat yang ditembuskan kepada: 1. Kapolda Sumatera Barat, 2. Propam Polda Sumatera Barat, 3. Wassidik Polda Sumatera Barat, 4. Irwasda Polda Sumatera Barat, 5. Irwasum Pulla Sumatera Barat, 6. Kapolresta Bukittinggi, 7. Propam Polresta Bukittinggi, 8. Kasiwas Polres Bukittinggi, 9. Ombudsman Sumatera Barat, dan 10. Media Massa.

Riyan Permana Putra menerangkan bahwa ini sesuai dengan Pasal 41 ayat 3 Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menjelaskan Pengawasan penyidikan secara insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. dilaksanakan oleh pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan berdasarkan surat perintah atasan Penyidik yang berwewenang, apabila terdapat adanya dugaan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu dalam menangani perkara berdasarkan pengaduan masyarakat.

Maka kami mengajukan Permohonan Gelar Perkara Khusus kepada Wassidik Polda Sumatera Barat terkait adanya dugaan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu dalam menangani perkara Laporan Polisi Nomor: LP/B/146/III/2025, Tanggal 12 November 2024. a/n Pelapor A di Polresta Bukittinggi yang diduga melanggar Hak Tersangka dalam Kesehatan dan diduga mempidanakan ODGJ.

Riyan Permana Putra melanjutkan bahwa kami memohon Wassidik Polda Sumbar untuk melaksanakan Pasal 38 Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang mengamanatkan Pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan untuk:

a. melakukan pengawasan penyelidikan dan penyidikan di lingkungan Polri;

b. melakukan pemeriksaan materi dan administrasi penyidikan;

c. melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Penyidik/Penyidik Pembantu; dan

d. melakukan koordinasi dengan fungsi pengawasan di luar fungsi reserse kriminal.

Adapun kronologi tindakan dugaan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu dalam menangani perkara Laporan Polisi Nomor: LP/B/146/III/2025, Tanggal 12 November 2024. a/n Pelapor A di Polresta Bukittinggi yang diduga melanggar Hak Tersangka dalam Kesehatan dan diduga mempidanakan ODGJ adalah sebagai berikut:

a. Bahwa tersangka bernama RP seharusnya tidak bisa dipidana karena berdasarkan diagnose dokter menghidap gangguan jiwa.

Dimana menurut Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena cacat mental atau gangguan jiwa tidak akan dipidana.

b. Bahwa tersangka bernama RP ketika akan melakukan pemeriksaan kesehatan tidak diizinkan oleh penyidik. yaitu klien kami sudah mengajukan permintaan pemeriksaan Kesehatan lebih dari dua kali pada 22 April 2025 dan 23 April 2025, hingga permintaan yang ketiga juga diduga tidak diperbolehkan memeriksa kesehatan pada 24 April 2025. Padahal menurut Pasal 58 KUHAP Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.

Kami ungkap Riyan Permana Putra berharap Wassidik Polda Sumbar dapat membantu untuk:

  1. Melaksanakan Pasal 38 Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang mengamanatkan Pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan untuk:

a. melakukan pengawasan penyelidikan dan penyidikan dilingkungan Polri;

b. melakukan pemeriksaan materi dan administrasi penyidikan;

c. melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Penyidik/Penyidik Pembantu; dan

d. melakukan koordinasi dengan fungsi pengawasan diluar fungsi reserse kriminal.

  1. Mendesak penyidik untuk melaksanakan Gelar Perkara Khusus dan melanjutkan pemeriksaan kasus dalam menangani perkara Laporan Polisi Nomor: LP/B/146/III/2025, Tanggal 12 November 2024 a/n. Pelapor A di Polresta Bukittinggi.
  2. Bahwa sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) Perkapolri 14 Tahun 2012 Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan bahwa selain gelar perkara biasa juga ada gelar perkara khusus. Gelar perkara khusus ini bertujuan untuk:

a. merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik;

b. membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan bukti baru.”

  1. Bahwa keberatan kami beralasan karena dugaan gelar perkara yang dilakukan oleh Reskrim Polresta Bukittinggi diduga cacat hukum, karna RP sebagai tersangka dalam kasus ini tidak pernah diundang untuk menghadiri gelar perkara. Ini sesuai dengan doktrin hukum dari Frans Hendra Winarta tentang Gelar Perkara, dalam tulisannya berjudul Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan, memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum, ujar Riyan Permana Putra.

Sebelumnya, diduga tidak sah tetapkan tersangka terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Bukittinggi, Polresta Bukittinggi, digugat oleh Advokat Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, CLOP.

Riyan Permana Putra kepada media ini menyatakan bahwa permohonan Pra Peradilan Nomor PN BKT-6805C4639BCFE diverifikasi lengkap oleh Pengadilan Negeri Bukittinggi dan segera akan memasuki sidang Pra Peradilan pertama. Adapun sebagai Pemohon adalah RP dan Polresta Bukittinggi sebagai Termohon.

“Tak lama lagi sidang Pra Peradilan yang dimohonkan RP akan dilaksanakan yang ke depan berturut-turut akan melewati sesi jawaban, bukti surat, dan saksi,” sebut Riyan Permana Putra pada Rabu, (23/4/2025).

Diketahui, Riyan Permana Putra sebagai kuasa hukum pemohon RP menggugat Polresta Bukittinggi terkait penetapan tersangka, sah tidaknya penahanan dalam dugaan tindak pidana pencabulan yang diduga dilakukan RP yang bekerja sebagai ASN Bukittinggi, sebagaimana dimaksud dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

”Pemohon merupakan penderita Orang dengan Gangguan Jiwa (ODJG) yang seharusnya tidak bisa dibebani pertanggungjawaban pidana.

Berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan Pemohon, Pemohon adalah penderita Orang dengan Gangguan Jiwa (ODJG), maka Pemohon secara hukum tidak dapat bertanggung jawab atas dugaan perbuatan yang dilakukannya, maka pada Pemohon berlaku alasan pemaaf, dimana menurut KUHP Pemohon tidak dapat dipidana, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat sekitar,” jelas Riyan Permana Putra.

Sebelumnya, Terkait kasus dugaan pencabulan yang diduga dilakukan RP yang bekerja sebagai ASN Bukittinggi, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH yang merupakan perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumatera Barat menyatakan seharusnya jemput paksa tak terjadi karna sudah jelas RP seharusnya tidak bisa dipidana karena berdasarkan diagnose dokter menghidap gangguan jiwa.

“Dimana menurut Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena cacat mental atau gangguan jiwa tidak akan dipidana,” kata Riyan Permana Putra, pada Selasa, (25/3/2025) di sela-sela sidang di Pengadilan Negeri Bukittinggi.

Dan juga seharusnya menurut Riyan Permana Putra, Polresta Bukittinggi tidak mempersulit RP melakukan pemeriksaan kesehatan. Karna menurut Pasal 58 KUHAP, tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak, tambahnya.

Lalu terkait dugaan gelar perkara yang dilakukan oleh Reskrim Polresta Bukittinggi diduga cacat hukum, Riyan Permana Putra mengungkapkan diduga karna RP dan kuasa hukum menurut istri RP tidak pernah diundang untuk menghadiri gelar perkara. Ini menurut doktrin hukum dari Frans Hendra Winarta tentang Gelar Perkara, dalam tulisannya berjudul Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan, memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum, jelasnya.

Riyan Permana Putra juga mengharapkan Wassidik Polda Sumbar dapat membantu untuk melaksanakan Pasal 38 Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang mengamanatkan Pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan untuk :
a. melakukan pengawasan penyelidikan dan penyidikan dilingkungan Polri;
b. melakukan pemeriksaan materi dan administrasi penyidikan;
c. melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Penyidik/Penyidik Pembantu; dan
d. melakukan koordinasi dengan fungsi pengawasan diluar fungsi reserse kriminal.

Selain itu Riyan Permana Putra juga mengharapkan Wassidik Polda Sumbar segera melakukan gelar perkara khusus sebagaimana aturan Pasal 71 ayat (1) Perkapolri 14 Tahun 2012 Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan bahwa selain gelar perkara biasa juga ada gelar perkara khusus. Gelar perkara khusus ini bertujuan untuk :
a. merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik.

Terakhir, Riyan Permana Putra berharap dengan kondisi RP yang diduga memenuhi Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena cacat mental atau gangguan jiwa tidak akan dipidana. Riyan Permana Putra tetap berharap ada upaya restorative justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Kejari Nomor 15 Tahun 2020 dalam penyelesaian kasus RP.

“Lebih jelasnya dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020 menyatakan perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif,” kata alumni Universitas Indonesia ini lagi.

Kalau kita lihat, RP diduga bisa memenuhi syarat materil Restorative Justice sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf e Peraturan Kepolisian 8 Tahun 2021 yang berbunyi: ia bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan, lanjutnya.

Dan Riyan menilai RP juga harus memenuhi syarat formil restorative justice dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021, yaitu kesepakatan perdamaian dari kedua belah pihak dan adanya pemenuhan hak korban, tekannya.

“Pemenuhan hak korban itu bisa berupa mengembalikan barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana, dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut,” ujarnya.

Restorative Justice ini bisa dilaksanakan karna telah ada MOU tentang Restorative Justice dengan melibatkan Ninik Mamak LKAAM, menindaklanjuti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021, tegasnya.
Waktu itu kerjasama Polda dengan LKAAM ini ditandatangani Irjen Pol Teddy Minahasa Putra dengan Ketum LKAAM Sumbar Dr Fauzi Bahar Dt Nan Sati, yang isinya memberi peran kepada Ninik Mamak untuk memfasilitasi penyelesaian kasus hukum yang melibatkan anak kemanakan, sebutnya.

Dalam kajian PPKHI Bukittinggi, di Sumbar, jumlah kasus yang diselesaikan secara restorasi justice selama 2021 yakni sebanyak 1.011 dari 5.585 kasus.

“Sementara di 2022, dari total 2.257 kasus tindak pidana yang ditangani, sebanyak 257 kasus di antaranya dapat selesai melalui penerapan mekanisme restorative justice,” kata dia mengutip data dari Polda Sumbar.
Sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Tempo, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, menahan seorang aparatur sipil negara tersangka pencabulan anak di bawah umur.
Tersangka inisial RP tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka pada Februari lalu. Ia selalu mangkir dari dua kali pemeriksaan.

“Terpaksa kami jemput ke Padang,” kata Wakil Kepala Satuan Reskrim Polresta Bukittinggi Ajun Komisaris Polisi Anidar di Bukittinggi, Jumat, 14 Maret 2025 seperti dilansir dari Antara.
Ia mengatakan RP merupakan seorang aparatur sipil (ASN) yang berdinas di Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bukittinggi. Ia dilaporkan pada November 2024 oleh keluarga korban karena tidak terima anaknya dicabuli saat berlatih pencak silat dengan tersangka.

“RP diduga melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang merupakan anak didik silat,” kata Anidar.

Ia menjelaskan tersangka RP sempat mengeluh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Otak D.T. Drs. M. Hatta, Kota Bukittinggi, selama beberapa hari setelah dimintai keterangan awal dan gelar perkara.

“Mungkin karena stres, kemudian ia dirawat hingga ke rumah sakit jiwa di Kota Padang,” katanya.
Anidar mengatakan kuasa hukum atau pengacara tersangka sudah mengajukan penangguhan penahanan terhadap kliennya. Ada pengajuan penangguhan penahanan tersangka disampaikan oleh pengacaranya, “tetapi sejauh ini belum dikabulkan,” katanya.

Kasus ini sebelumnya dilaporkan oleh orang tua korban ke polisi pada November 2024 dengan nomor surat STTLP/B/146/XI/2024 dengan terlapor inisial RP.

Dalam laporannya, keluarga korban mengungkap kejadian dugaan pencabulan terhadap anak itu dilakukan pada Minggu, 18 Agustus 2024, dan Selasa, 20 Agustus 2024.
RP dilaporkan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara,” kata Anidar.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *