Bukittinggi – Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, warga Bukittinggi dan praktisi hukum menanggapi usul Walikota Bukittinggi untuk kembalikan kewenangan SMA ke Pemerintah Kota.

Riyan Permana Putra menyebutkan pengembalian kewenangan pengelolaan SMA ke pemerintah kabupaten/kota dapat menimbulkan beban anggaran bagi daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah kabupaten/kota harus membiayai operasional SMA, termasuk gaji guru, biaya sekolah, dan lain-lain, ungkapnya.

Apalagi jika kita lansir dari Haluan, terkait APDB Bukittinggi, pernah mengeluarkan berita: Ranperda APBD 2025 Masih Defisit, Cakada Diimbau Baagak-Agak dalam Berkampanye yang mengungkap postur rancangan peraturan daerah (Ranperda) APBD tahun anggaran 2025 yang masih terdapat defisit sebesar Rp173.669.609.525. Serta kondisi pendapatan dana transfer pusat secara umum memang menurun sejak Covid 19, ditambah lagi dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat jauh dari harapan. Hal ini tentu memperparah kondisi keuangan Kota Bukittinggi. Jadi, jika kita paksakan agar kewenangan SMA dari Provinsi Sumatera Barat ke Kota Bukittinggi tentu sangat membebani APBD, bisa saja nanti terjadi problem keterlambatan gaji guru dan lain-lain.

Karna selama ini menurut Riyan Permana Putra pengelolaan SMA di Indonesia menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ini berarti pemerintah provinsi bertanggung jawab atas berbagai aspek, termasuk administrasi, pembiayaan, pengawasan, dan pembinaan terhadap SMA di wilayahnya.

Bahkan Riyan Permana Putra menerangkan Pasal 15 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan kewenangan pengelolaan SMA ada pada pemerintah provinsi pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi karena saat itu Pemohon ingin agar pengelolaan SMA/SMK menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten.

Namun, lanjut Riyan Permana Putra saat itu Mahkamah Konstitusi dalam uji materi nomor perkara 31/PUU-XIV/2016 tetap menetapkan Pengelolaan SMA/SMK tetap menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Hal ini menjadi simpulan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi nomor perkara 31/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh sejumlah warga Surabaya, Jawa Timur.

Riyan Permana Putra yang merupakan tokoh muda Bukittinggi ini juga menjelaskan bahwa kita bisa belajar kepada Kabupaten/Kota di Papua yang akibat amanat Peraturan Pemerintah 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua pengelolaan SMA dikembalikan kepada Kabupaten/Kota di Papua yang terjadi adalah mereka minta evaluasi aturan tersebut karena, seperti yang terjadi di Kota Sorong, Papua Barat Daya, mengalami situasi di mana upah guru honorer SMA/SMK menjadi tanggung jawab sekolah masing-masing, karena Pemerintah Kota Sorong tidak menyediakan anggaran untuk itu, jelasnya.

Beberapa daerah di Papua sudah mengalami keterbebanan anggaran bagi kabupaten/kota jika kewenangan SMA dikembalikan ke kabupaten/kota ungkap Riyan Permana Putra bahkan Kabupaten/Kota di Papua meminta agar aturan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua dievaluasi dan mengusulkan pengembalian kewenangan SMA ke provinsi karena pembiayaan pendidikan berjalan lebih baik saat kewenangan berada di tingkat provinsi, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Gubernur Papua Barat.

Jadi, Kota Bukittinggi jangan mengulangi kesalahan yang sama yang terjadi akibat usul untuk kembalikan kewenangan SMA ke Pemerintah Kota, simpulnya.

Sebelumnya, dilansir dari Antara, Ketua Komisi III DPD Republik Indonesia Filep Wamafma di Manokwari, Kamis, mengatakan pengalihan tersebut merupakan amanat Peraturan Pemerintah 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua.

Penerapan regulasi tersebut dinilai memberatkan anggaran pemerintah kabupaten yang sebelumnya sudah mengelola satuan pendidikan dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama.

“Implementasi PP 106 dengan alihkan pengelolaan SMA dan SMK ke kabupaten dinilai tidak efektif,” kata Filep.

Kepala Dinas Pendidikan Papua Barat Abdul Fatah menjelaskan pengalihan kewenangan SMA dan SMK sesuai Peraturan Pemerintah 106 Tahun 2021 diberlakukan sejak 1 Januari 2023, termasuk pemindahan data tenaga pendidik dan anggaran.

Dinas Pendidikan provinsi hanya mengelola tiga sekolah khusus di Kabupaten Manokwari yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) Terpadu Panca Kasih, SMA Taruna Kasuari, dan SMA Keberbakatan Olahraga.

“Tetapi tidak menutup kemungkinan provinsi akan membantu kelengkapan sarana prasarana sekolah,” ujar Abdul Fatah.

Ia mengakui banyak guru-guru SMA dan SMK menginginkan agar pengelolaan dikembalikan kepada pemerintah provinsi seperti sebelumnya, karena terdapat berbagai permasalahan misalnya keterlambatan gaji dan lainnya.

Sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Antara Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias menyampaikan harapannya agar kewenanangan dalam pengelolaan satuan pendidikan tingkat SMA dikembalikan ke pemerintah daerah tingkat II.

“Kami ingin kewenangan SMA ini dikembalikan kepada kita di pemerintah daerah. Sebenarnya tidak ada masalah kalau dikelola oleh pemerintah provinsi selagi tidak menimbulkan persoalan. Tapi kenyataannya, masih ada beberapa kendala yang terjadi untuk mengembangkan pendidikan, khususnya di Koa Bukittinggi sendiri,” kata Ramlan Nurmatias, Sabtu (3/5)(Fransiskus Salu Weking/Al Fatah/Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *