Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari Harian Haluan, Diduga pengasuh Pondok Panti Asuhan Putra Aisyiyah Bukittinggi diduga melakukan kekerasan terhadap anak anak panti. Kekerasan yang dilakukan pengasuh panti berinisial CA ketika membangunkan anak anak yang akan melaksanakan gotong royong di Gedung Panti Asuhan Putra Aisyiyah Jalan Soekarno Hatta Manggis Gantiang Bukittinggi, Jumat (18/4/2025) pagi.


Kekerasan yang dilakukan pengasuh tersebut tidak hanya terhadap seorang anak panti melainkan tiga orang anak dalam kurung waktu berbeda.

Salah seorang anak yang mengalami kekerasan bernama Gilang (18) mengaku mendapat kekerasan pada hari Jumat (18/4/2025) ketika dia dibangunkan untuk melakukan gotong royong.

“Pagi itu, pelaku membangunkan anak anak dengan menghardik dan menyentakkan selimut. Setelah dibangunkan saya duduk dan kemudian berdiri. Mungkin pelaku kurang senang dengan saya sehingga mendorong dada saya dari depan ke belakang, akibatnya sata terjatuh ke belakang. Dan kedua siku saya mengalami lecet lecet akibat menahan tubuh saya yang jatuh ke lantai,” kata Gilang kepada Harian Haluan, Senin (22/4/2025).

Ditempat berbeda, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, praktisi hukum dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi yang merupakan organisasi non pemerintah yang konsisten dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat, buta hukum, dan masyarakat yang tertutup akan akses keadilannya. LBH Bukittinggi juga berperan aktif dalam menyuarakan perubahan tatanan yang timpang dan merugikan masyarakat luas mengharapkan Kepolisian, Dinas Sosial, hingga Dinas Perempuan dan Anak hingga dinsa terkait di Pemerintahan Kota Bukittinggi tidak diam dalam menyikapi dugaan adanya kekerasan di salah satu Panti Asuhan di Bukittinggi. Karena Pemda wajib melakukan perlindungan kepada anak, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), dan di Bukittinggi pun telah ada Peraturan Daerah (Perda) Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak menyebutkan bahwa Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak.

Riyan Permana Putra menambahkan agar Pemerintah Kota (Pemkot) Bukittinggi terus berkomitmen memperkuat pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kota Bukittinggi. Itu bisa ditempuh dengan Pemkot Bukittinggi terus mengupayakan lewat berbagai program pencegahan, penanganan, sampai pendampingan atau advokasi di lingkungan masyarakat termasuk panti asuhan.


“Jadikan momentum dugaan kekerasan di salah satu Panti di Kota Bukittinggi ini sebagai alarm pengingat agar Pemkot Bukittinggi menjadikan agenda pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai salah satu prioritas utama. Hal ini bisa diimplementasikan lewat berbagai program unggulan, seperti sosialisasi dengan melibatkan pelajar, membuka layanan pengaduan, sampai menyediakan bantuan pendampingan, baik dalam bidang advokasi hukum sampai pendampingan konseling secara intensif yang bisa dimanfaatkan masyarakat luas,” ujarnya.

“Pemkot Bukittinggi dan jajaran pemerintahan terkait jangan diam, seperti Dinas Sosial dan Dinas Perempuan dan Anak, jajaran pemerintahan terkait tersebut harus sangat fokus dalam meningkatkan upaya pencegahan. Ada banyak yang bisa dilakukan, seperti melalui program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) sekaligus sosialisasi di puluhan sekolah hingga panti-panti yang ada di Bukittinggi. Program ini akan efektif karena menyentuh masyarakat akar rumput secara langsung. Tidak hanya pencegahan, Pemkot Bukittinggi seharusnya juga aktif melakukan pendampingan bilamana ditemukan kasus, mulai dari pendampingan advokasi, konseling, sampai medis,” tukas Riyan Permana Putra, pada Jumat (/1/25).

Riyan Permana Putra lalu melanjutkan, Pemkot Bukittinggi juga berkolaborasi dengan berbagai pihak, terutama masyarakat luas untuk mengoptimalisasi upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kota Bukittinggi. Salah satunya, Pemkot Bukittinggi bisa melibatkan partisipasi luas melalui Satuan Tugas (Satgas) PPA yang dibentuk di setiap kecamatan, sampai tokoh masyarakat, pemuda, dan komunitas masyarakat lainnya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif.

“Pemkot Bukittinggi dalam mencegah adanya kekerasan seharusnya juga melibatkan semua stakeholder dan elemen masyarakat luas untuk bersama-sama meningkatkan pencegahan kekerasan anak dan perempuan di Kota Bukittinggi. Dengan melibatkan masyarakat umum untuk menjadi satgas yang bertugas, itu akan membantu gerak pencegahan kekerasan di Bukittinggi dengan secara cepat, responsif dan intensif membantu pencegahan di lingkungan masing-masing,” tambahnya.


Jalan Keluar Meredam Kasus Kekerasan terhadap Anak di Bukittinggi


Salah satu isu strategis pasca Perang Dunia I dan Kedua pada awal dan media abad XX adalah masalah anak. Hal tersebut disebabkan karena korban yang paling mengenaskan pasca perang, selain wanita adalah anak-anak. Perang –dan juga aneka bencana– telah melahirkan anak-anak tiba-tiba menjadi yatim piatu, kehilangan orang-orang yang dicintai, mengalami cacat pisik, trauma mental, serta kehilangan harapan akan masa depannya. Kenyataan itu membawa gerakan untuk melindungi anak (save children movement) dari berbagai kelompok masyarakat. Mereka mendesak kepada organisasi internasional, dan juga pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perang untuk lebih memberikan perhatian kepada anak. Perjuangan para aktivis perlindungan anak mencapai puncak keberhasilan ketika pada tahun 1989 semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child).


“Pemerintah kita pun telah mempunyai beberapa peraturan khusus untuk perlidungan terhadap anak-anak. Peraturan tersebut terdiri dari Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, serta Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan bahkan di Bukittinggi sendiri telah ada Perda Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Jadi, meskipun sudah ada undang-undang, masyarakat Sumatera Barat juga harus ikut berperan dalam melindungi hak-hak anak, khususnya kekerasan terhadap anak. Jangan sampai mereka menjadi pelaku utama, karena bila sudah seperti itu maka berbahaya untuk ke depannya. Masyarakat tentunya harus menjadi garda terdepan untuk selalu mengayomi dan melindungi serta memperjuangkan terpenuhinya hak anak-anak. Apalagi dalam Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), dan di Bukittinggi pun telah ada Peraturan Daerah (Perda) Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak menyebutkan bahwa Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak,” ucap Alumni Universitas Indonesia ini.


Apalagi Kota Bukittinggi pernah berhasil meraih penghargaan Kota Layak Anak kategori madya. Hal tersebut disampaikan pemerintah pusat melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) secara virtual di ruang BCC Balaikota Bukittinggi, Kamis (29/7).
Wako Erman pun saat itu bersyukur dan mengucapkan terima kasih atas penghargaan yang diberikan pemerintah pusat tersebut. Bahkan Pemko Bukittinggi, kata Wako, berkomitmen dan terus memberikan perhatian dan pelayanan maksimal terhadap anak sebagai generasi penerus bangsa.
“Kita berkomitmen mempertahankan penghargaan Kota Layak Anak ini. Pelayanan maksimal terhadap anak di Bukittinggi pun akan terus kita tingkatkan,” tegasnya sebagaiman dilansir dari scientia.id pada Kamis, (29/7/2021).


Sebelumnya, dilansir dari Haluan, setelah kejadian tersebut tambah Gilang, pelaku terpancing emosinya dan semakin marah sehingga mengajak korban untuk berkelahi. Namun, ia tidak meladani permintaan pelaku.
Menurut Gilang, kekerasan itu tidak hanya dilakukan pelaku kepada dirinya saja. Melainkan kekerasan juga dilakukan kepada dua orang penghuni panti lain. Bahkan, dua anak panti tersebut diduga mengalami kekerasan dengan bukti tangan dan pinggang yang membiru akibat dipukul dengan benda tumpul.


“Saya takut melaporkan kasus ini ke polisi, nanti saya akan dimarahi pengurus panti. Saya telah 6 tahun tinggal di panti ini. Baru kali ini saya mengalami kekerasan. Kekerasan ini sering dilakukan pelaku CA sejak bulan puasa lalu,” ujar Gilang.


Tak hanya itu, pihak panti telah menyuruh Gilang pulang ke kampung halamannya di Sijunjung karena Gilang telah lulus dari SMK Muhammadiyah Bukittinggi. Namun, dia belum bersedia pulang kampung karena ijazahnya belum diserahkan pihak sekolah kepada siswa yang telah lulus.


Terpisah, salah seorang tokoh masyarakat kelurahan Manggis Gantiang, Lis Sutan Mudo mengaku telah mengetahui peristiwa kekerasan yang dilakukan pembina panti dari laporan anak anak panti kepada dirinya beberapa hari lalu.


“Benar, sembilan orang anak anak panti telah mengaku kepada saya bahwa mereka mendapat kekerasan di panti. Saya ditunjukkan fotonya pinggang salah seorang anak yang membiru,” kata Lis Sutan Mudo yang juga mantan Ketua RT setempat.


Ia menyayangkan pengurus panti yang sekarang ini sangat tertutup dan tidak pernah melaporkan berapa jumlah penghuni panti. Sangat disayangkan panti sebesar ini hanya di huni oleh belasan anak panti.


“Kalau dulu, pengurus panti sering melaporkan anak anaknya ke Ketua RT 03/RW II Kelurahan Manggis Gantiang sehingga jumlah anak anak panti tercatat di kelurahan tapi pengurus sekarang tidak pernah melaporkan kepada RT setempat,” jelasnya.

Lis Sutan Mudo mengaku telah menemui dan melaporkan peristiwa kekerasan tersebut kepada Ketua Panti Asuhan Putra Aisyiyah Bukittinggi.


Ketua Panti Asuhan Aisyiyah Bukittinggi, Devi Wahyuni mengatakan niatnya mengurus anak anak panti berniat baik untuk membina anak anak yatim. Mengurus anak panti bertujuan untuk membina kepada yang baik tapi orang berkata lain sehingga informasi yang tidak baik menyebar kepada pihak luar.


“Permasalahan tersebut telah kami selesaikan. Kalian, anak anak panti jika ada masalah kan bisa melaporkan kepada ibu sebagai pengurus,” kata Devi kepada Haluan di kantornya, Selasa (22/4/2025).


Ia mengakui pelaku berinisial CA adalah pembina panti yang bertanggung jawab membina keagamaan anak anak panti. Bisa jadi pelaku ketika membangunkan anak anak agak keras. “Memang ada tangan anak itu membiru, dan itu telah kita konfirmasikan kepada pelaku,” ujar Devi didampinggi Bendahara Sri Herlina.


Selain itu, menurut Devi setiap anak anak panti yang telah lulus SLTA diharuskan keluar dari panti karena kegiatan di sekolah sudah tidak ada lagi. Dia akan kembali ke sekolah hanya untuk menyelesaikan administrasi di sekolah.(*/Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *